Jam Operasional : Senin s/d Sabtu 07:00 - 14:00
Oleh: Dhea Noor Rokhimah
Pendidikan formal di Jepara di pelopori oleh sosok yang tegas dan pemberani yaitu KH.Sulaiman Tamam. Beliau adalah penduduk asli dari desa Menganti kecamatan Kedung kabupaten Jepara. beliau lahir di Menganti pada tahun 1916 M dari pasangan KH.Idris bin mbah Satam dan nyai Salamah binti mbah Ramijan. yang tak lain adalah putra pertama dari tiga bersaudara, beliau sering dipanggil santri-santrinya dengan sebutan 'mbah Tamam'.
Sosok ulama' Nahdlatul Ulama ini mempunyai profesi yang tergolong unik. Karena disamping sebagai seorang kyai yang mengajar santri-santrinya di musholla peninggalan ayahnya, yang tak lain adalah KH.Idris. Beliau juga seorang Sekertaris Desa, kemudian beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dengan jabatan terakhir Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kecamatan Kedung. Di bidang organisasi, beliau tercatat sebagai Ketua Majlis Wakil Cabang NU di Kecamatan Kedung. Syuriah NU di Kabupaten Jepara dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jepara.
Riwayat pendidikan Beliau, tak lepas dari tarbiyah pesantren, karena beliau masih mempunyai darah keturunan kyai. Pada usia ke sembilan tahun (seusia SD) KH.Sulaiman Tamam sudah mendapatkan pengajaran dari ayahnya sendiri, antara lain ilmu Nahwu,Taukid,dan Fiqih dengan mengkaji kitab kitab kuning.
Selepas Sekolah Rakyat (SD) mbah Tamam dikirim ayahnya di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. tetapi tidak diketahui secara pasti pesantren mana yang mula mula disinggahi beliau. namun ada beberapa pesantren yang disebut oleh beliau saat hidupnya, antara lain Pondok Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur dengan pengasuh KH.Dhimyatie , Pondok Pesantren Jampes Kediri di bawah asuhan Syekh Ikhsan, Pondok Pesantren Rembang di bawah asuhan KH.Kholil, Pondok Pesantren Balekambang Kecamatan Nalumsari (Dahulu Kecamatan Mayong) Jepara dibawah asuhan KH.Hasbullah dan KH.Abdullah Hadziq dan Pondok Pesantren Panggung Nalumsari Jepara yang di asuh oleh KH.Asro
Belum genap lima belas tahun
umurnya, mbah Tamam diamanati ayahnya untuk mencari ilmu di suatu Pondok Pesantren
Jampes Kediri. Sehari sebelum berangkat ke Kediri beliau tidak bisa tidur semalaman.
Kehidupan di ponpes berfatamorgana di langit-langit kamarnya. Segala sesuatu dan
barang-barang yang diperlukan sudah dipersiapkan semuanya.
Sosok ulama NU itu berangkat
ke stasiun kereta api Mayong pada pagi buta ditemani ayahnya yang tak lain adalah
KH.Idris dengan mengendarai dokar milik pamannya, lengkap dengan kuda putih yang
bernama Danu. Sampailah mereka di stasiun kereta api Mayong. Perjalanan JeparaKediri
pun dilanjutkan hingga memakan waktu seharian penuh. beliau menikmati perjalanan
itu dengan melihat pemandangan yang seolah berjalan dari jendela kaca kereta.
Roda besi sudah menginjak rel
kereta di stasiun Surabaya. mbah Tamam dan ayahnya turun dan bergegas melakukan
sholat dzuhur dan asar dengan dijama taqdim di mushola yang tak begitu besar di
sebelah kanan halaman stasiun. Usai sholat, KH.Sulaiman Tamam dan KH.Idris melanjutkan
perjalanan ke ma'had Jampes Kediri
Beliau dan ayahnya melepas penat di sebuah mushola kecil sebelah kanan
kamar-kamar santri di lingkungan pondok pesantren Jampes Kediri. Melihat santri
yang berlalu lalang menenteng kitab kuning, mbah Tamam tersadar bahwa beliau sungguh
berada di tempat yang diimpikannya. Ada juga santri yang menyiapkan akomodasi di
dapur, duduk melingkar mendiskusikan musykilaf yang dikaji, mengaji sorogan, mathlaah
kitab dan yang lain sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri. mbah Tamam dan ayahnya
hanya duduk santai hingga seorang santri menghampiri dan mengantar ke ndalem (rumah
kyai yang dimuliakan)
Mbah Tamam dan ayahnya duduk iftirasy di depan
pintu ndalem yang terbuka. Menurut pengasuh ponpes itu, Syekh Ihsan, beliau menuturkan
bahwa pintu rumah yang terbuka melambangkan bahwa penghuninya siap menerima tamu
siapapun dan kapanpun, karena silaturrahmi akan membawa berjuta kebaikan.
Syekh Ihsan pun keluar menemui
KH. Idris dan putranya. Beliau melihat mereka
dengan tatapan tajam penuh penghormatan, lalu mengajak KH. Idris untuk duduk di
kursi. Meskipun belum pernah bertemu, Syekh Ihsan mengetahui bahwa ayah dari KH.Sulaiman
Tamam adalah seorang kyai. mbah Tamam masih duduk di lantai tak berani menatap wajah
Syekh Ihsan. Sesekali mencuri pandang dan merasakan bahwa beliau adalah sosok idola
yang didambakan meskipun beliau baru pertama kali melihatnya.
KH. Idris menyampaikan hajatnya
pada Syekh Ihsan untuk memasrahkan putra pertamanya di pondok pesantren. Syekh Ihsan
menerimanya dan mengucapkan pintar menulis, tulisannya bagus, bagus sekali. KH.Idris
dan putranya diam seribu bahasa tidak mampu
menafsirkan ungkapan Syekh Ihsan.
Sosok pemuka agama yang masih berumur 15
tahun itu telah bergabung dengan santri lainnya, sedangkan KH. Idris pulang ke Jepara.
Hari pertama beliau di pesantren digunakan untuk memilih kitab-kitab yang akan beliau
pelajari. beliau mengaji dengan tekun. Tak hanya ilmu dari kitab yang beliau kaji,
beliau juga belajar dari kepribadian Syekh Ihsan pada kedalaman ilmu tutur kata, sikap, dan perilakunya. Beliau juga
merasa menemukan idola baru setelah gurunya terdahulu.
Hari demi hari mbah Tamam semangat belajar dan
mengaji. Hingga suatu ketika, sebelum Syekh Ihsan mengajari santrinya kitab fathul
wahab, Syekh Ikhsan mengundang santrinya yang baru beberapa hari untuk mendekat di depannya. Seketika mbah Tamam
kaget bercampur rasa haru dan bangga. Beliau memenuhi perintah gurunya yang tak
lain adalah syekh Ihsan dengan jalan mendengkul lalu duduk lebih rendah dari syekh
Ihsan dengan penuh tawadhu.
Syekh ihsan menunjuk mbah Tamam sebagai
katib penulisan kitab Sirajut Thalibin yang akan beliau tulis, yang merupakan syarah
dari kitab Minhajul Abidin Ila Jannati Robbil Alamin karangan Imam Al Ghazali. Mungkin
inilah maksud dari perkataan yang pernah diucapkan KH.Idris saat memasrahkan mbah
Tamam dulu. Mengetahui utusan tersebut, air mata mbah Tamam berlinang membasahi
pipinya. Sempat ada perasaan ragu dan merasa tidak pantas namun, dengan tekad dan
niat, beliau berusaha akan melaksanakan utusan kyainya dengan sebaik-baiknya.
Sesosok ulama Nahdlatul Ulama itu
mencurahkan seluruh waktunya untuk memenuhi tugas dari syekh Ihsan. Ketika santri
yang lain sibuk untuk mendalami ilmunya dengan mengaji kitab, mbah Tamam justru
dipanggil oleh Syekh Ihsan untuk melanjutkan penulisan kitab Sirajut Thalibin. Dalam
menjalankan tanggung jawabnya itu, kegundahan mulai muncul, antara khidmat kepada
Syekh dan mengaji sebagaimana santri pada umunya untuk menggapai cita-cita. Sudah
lima bulan mbah Tamam menjalankan tugasnya sebagai katib itu. Oleh karena kegundahannya,
beliau berniat pindah pesantren. Dengan penuh tadzim, beliau memberanikan diri
untuk matur kepada Syekh Ihsan. Namun keinginan beliau ditolak, kemudian Syekh Ihsan
menuturkan Kamu tidak perlu pindah kemana-mana.
Apa yang kamu cari di pesantren ini?. Kalau kamu ingin mendapatkan ilmu, kelak akan
mendapatkannya. Kalau kamu ingin menjadi kyai, kelak akan menjadi kyai. Sudahlah,
selesaikan tugasmu sebagai katib Sirajut Tholibin
Selama delapan bulan, sosok pemuka agama
itu telah menyelesaikan penulisan kitab. yang bejumlah hampir seribu seratus halaman
itu. Kemudian beliau diperbolehkan boyong dan mewujudkan niatnya untuk mencari ilmu
di Pondok Pesantren Tremas.
Asam garam mbah Tamam tidak terlepas
dari pahit getirnya kehidupan. beliau berfikir keras untuk mencerdaskan masyarat
Menganti yang diselimuti kebodohan dan kemiskinan. sebab taraf ekonomi yang rendah
dan sedikitnya ilmu yang dimiliki.
Suatu hari para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat baru saja keluar dari ruang sidang setelah pimpinan sidang mengetuk palu
sebagai tanda lobbying breaks. Kyai Tamam pikirannya dilanda kegundahan karena memikirkan
permasalahan umatnya di desa Menganti. Tatapan matanya kosong tanpa arti. Jauh menatap
pandangan diluar.
Jalan pendopo kabupaten lengang.
Hanya satu atau dua truk yang melintas untuk mengangkut barang. Nampak beberapa
wanita dengan beralaskan sandal yang tak begitu tebal menuju pasar. Tiba tiba terlintas
seorang laki-laki yang tak berbusana. hanya mengenakan celana buluk nan lusuh tanpa
mengenakan alas kaki.
Laki-laki yang diguyur keringat di
seluruh tubuh dan disorot oleh paparan sinar ultraviolet yang begitu terik. Pemuka
agama ini menatap dengan seksama lelaki separuh baya yang sedang menggelandang sepotong
pohon Aren itu. "Siapa gerangan lelaki itu, seperti aku mengenalnya",
pikirnya penasaran. Ternyata benar, laki-laki itu adalah penduduk desa Menganti
yang sedang mencari sesuap nasi untuk diri dan keluarganya.
Bagi masyarakat desa Menganti,pohon Aren memang mempunyai arti yang sangat
berpengaruh dalam ekonomi mereka. Sebagian besar masyarakat desa Menganti menggantungkan
mata pencaharian dengan mengolah pohon Aren menjadi tepung sagu. Pohon Aren dikupas
kulit nya, diambil bagian intinya kemudian ditumbuk sampai lumat menggunakan alu.
Setelah itu, tumbukan batang Aren diombang ambing kan dalam suatu bejana menggunakan
air.
Bahan baku pohon Aren dahulu dapat
di temukan dari daerah lereng Gunung Muria yang tersebar di berbagai kecamatan di
Jepara. Antara lain Mlonggo, Bangsri, dan Keling. Untuk membawa sepotong pohon Aren
itu dilakukan dengan cara menarik dengan tenaga manusia dan berjalan kaki. Pada
kedua sisi batang aren tersebut kemudian ditarik dengan tumpuan pundak. Pundak kanan
dan kiri secara bergantian merasakan beban yang setara. KH.Sulaiman Tamam berempati
kepada umatnya yang harus menanggung untuk menghadapi permasalahan ekonominya.
Kyai yang berprofesi sebagai anggota
DPRD mempunyai taraf kehidupan ekonomi yang lebih baik daripada masyarakat pada
umumnya. Berpakaian yang bagus, Ketika sidang, Pulang pergi diantar jemput oleh
mobil dinas pemerintah daerah. Kondisi yang demikian tidak lantas membuat lupa diri
dengan fasilitas yang diterimanya.
Justru mbah Tamam bertekad bulat untuk
mencerdaskan umat nya yang mayoritas beragama Islam, dan desa Menganti yang masih
diselimuti oleh kebodohan dan kemiskinan.
Beliau berfikir keras untuk merubah masyarakat dari kemiskinan
dan kebodohan menjadi masyarakat yang layak ekonomi maupun pendidikan, perlu didirikan
lembaga islam yang sesuai dan terjangkau oleh masyarakat yang belum maju.
Keinginan untuk mendirikan madrasah membabi
buta di pikiran nya. Tetapi KH.Sulaiman Tamam sadar bahwa untuk mendirikan sebuah
lembaga pendidikan islam yang formal tidak semudah menutup kelopak mata. Sebagai
manusia yang biasa muncul perasaan pesimisme, betapa sulitnya mendirikan lembaga
islam di tengah masyarakat yang mengalami problematika ekonomi dan sosial.
Keinginan untuk mendirikan madrasah
semakin memberontak di dalam inti hati KH.Sulaiman Tamam. Pesimisme akan terwujudnya
lembaga pendidikan islam formal di desa Menganti yang dapat merubah pola pikir,
wawasan, dan orientasi masyarat, setelah menyaksikan lelaki paruh baya yang menggelandang
batang aren berkilo-kilo meter yang dibasahi keringat dan ditengah terik sinar ultraviolet
yang sangat menyengat. Pesimisme berganti menjadi optimistis me penuh harap. "Sekarang
saatnya memulai, tidak bisa ditunda lagi." gumam hati beliau.
Matahari mulai menyembunyikan diri,
pertanda hari mulai sore, para anggota dewan meninggalkan ruang sidang yang satu
komplek dengan pendopo kabupaten, setelah mendengar ketukan palu pimpinan sidang,
pertanda sidang ditutup. Tidak seperti sekarang. Dulu, karena sulitnya transportasi,
pemerintah menyedian mobil antar jemput anggota dewan. satu persatu anggota dewan
masuk kedalam mobil yang searah dengan tujuannya. Mbah Tamam terus melaju menyusuri sepanjang jalan desa Demaan,Tegalsambi,Platar,Semat,Kerso,
dan Menganti jalan Krapyak,Mantingan,dan Petekeyan belum dibangun.
Kyai Tamam menumpangi mobil Ford
buatan Jerman tahun 1930-an berjalan dengan santai menyusuri jalan berbatu, sambil
ber fatamorgana bagaimana cara mendirikan lembaga pendidikan islam di tengah-tengah
desa Menganti yang seratus persen beragama Islam dengan corak Nahdlatul Ulama'
Mobil milik penjajah Belanda itu
yang sudah dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia itu terus melaju dengan
kecepatan rendah, karena kondisi jalan yang jauh dari kata 'layak', banyak bebatuan
berserakan. Tiba-tiba sang sopir berteriak marah :"Ayo cepat! itu orang apa
keong! berjalan lambat sekali!". laju mobil masih tetap lambat seakan tidak
bergerak sedikitpun. Mendengar teriakan surara sang sopir, lelaki itu berusaha minepi,
tetapi kesulitan karena beban yang terlalu berat yang di bawanya. Sang sopir semakin
sabar dan kembali berteriak sekuat tenaga "Minggir dulu mobil mau lewat!".
tetap saja mobil tidak bisa lewat kerena terhalang oleh beban yang dibawa lelaki
itu yang melihtang di tengah jalan.
Untung saja ada dua lelaki yang pulang
dari sawah, yang mau membantu menggelandang beban yang dibawa lelaki itu ketepian
jalan. hingga mobil dengan penumpang para anggota DPRD itu bisa lewat. Mbah Tamam
seorang pemuka agama diam seribu bahasa seakan tidak ada kata se hela nafas pun
yang ingin dilontarkan. Sebab KH.Sulaiman Tamam tau bahwa penghambat laju mobil
yang beliau tumpangi adalah salah satu penduduk desa Menganti yang menggelandang
betang pohon Aren untuk mengais rezeki demi seusap nasi untuk diri dan keluarganya.
Gejolak tekad beliau begitu kuat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan islam
di tengah umat nya yang dilanda oleh kemiskinan dan kebodohan.
Matahari mulai gingsir, sinarnya
yang tak begitu cerah dari sinarnya lampu. Mbah Tamam dari kamar depan bergegas
menuju ke ruang tamu. diruang tamu persis pintu depan, beliau duduk di kursi rotan
tinggalan KH.Idris yang tak lain adalah ayahnya. pandangannya ber fatamorgana keluar
rumah lewat daun pintu yang terbuka lebar, otaknya berfikir keras untuk memikirkan
segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan lembaga islam di desanya. Keinginan
nya yang kuat membawa bayangan seakan sudah berdiri lembaga pendidikan islam di
Menganti dengan murid-murid yang belajar ilmu duniawi untuk kehidupan dunia, dan
ilmu agama untuk akhirat. Mata beliau membayangkan bahwa ada murid-murid yang sekaligus
sebagai santri sedang berjalan menenteng kitab dan buku pelajaran umum.
Di tengah asyik-asyiknya
menghalukan perubahan keadaan sosial ekonomi di desa Menganti, Tiba-tiba terdengar
suara bedug yang bertalu-talu sebagai pertanda waktu maghrib telah tiba. Para santri
sudah menunggu di musholla untuk mengikuti jamaah magrib. sedangkan KH.Sulaiman
Tamam masih di padasan untuk berwudlu. Cukup lama para santri beliau menunggu, tidak
ada yang berani menggantikan beliau menjadi imam. Jumlah santri belum begitu banyak,
hanya pemuda yang rumahnya di komplek ndalem nya KH.Sulaiman Tamam yang jumlahnya
kurang dari tiga puluh orang.
Seperti biasanya, sesudah jamaah maghrib di laksanakan,
para santri mengaji al-quran. sebagian santri senior menyemak juniornya. Sebagian
yang lain memuthala'ah sendiri sendiri untuk melancarkan bacaannya. Kentongan masjid
berbunyi, itu tandanya sholat isya' telah tiba, jamaah sholat isya' segera dilakukan,
kemudian dilanjutkan pengajian kitab seperti biasanya. Kali ini agak berbeda, pengkajian
berlangsung singkat. Setelah pengkajian ditutup, KH.Sulaiman Tamam membagi tugas kepada santri
senior. Masing masing dari mereka di tugasi oleh beliau untuk mendatangi rumah warga
sekitar ndalem nya Kyai Sulaiman untuk berkenan di ndalem nya beliau pada malam
itu juga.
Santri di bagi menjadi beberapa kelompok,
karena santri tidak mempunyai keberanian untuk menyusuri sepanjang jalan desa Menganti
karena jauh dari kata 'terang'. Setiap kelompok terdiri dari tiga atau empat orang.
Di rumah -rumah penduduk hanya menyala lampu teplok. Sedikit sekali rumah warga
yang menggunakan lampu petromack, itupun di matikan setelah isya' berkumandang agar
hemat akan bahan bakar. Jalan jalan yang gelap nan sepi. Masih banyak pohon-pohon
yang besar tumbuh di pekarangan. didi Samping kanan kiri banyak lahan kosong yang
dubtumbuhi rumpun-rumpun bambu yang lebat.
Dengan berbekal penerangan yang terbuat
dari daun kelapa yang kering dan daun pisang yang kering pula, beberapa kelompok
santri yang diutus oleh KH.Sulaiman Tamam menuju ke rumah rumah tokoh desa Menganti.
Pemuka agama itu sudah duduk menunggu di
ruang tamu, tokoh paling muda yang ada di desanya menjadi kaki tangan mbah Tamam
yang tak lain adalah H.Hambali datang paling awal karena rumahnya paling dekat dengan
ndalem KH.Sulaiman Tamam. Disusul oleh KH.Irsyad seorang aduk ipar KH.Sulaiman Tamam.
dan disusul secara beruntut oleh KH.Sodiq, perangkat desa, H.Saleh, H.Asad, seorang
aghniya yaitu H.Jalil dan H.Marzuki seorang duda dari Hj.Pasinah seorang wanita
berkarir yang kaya raya merupakan bibi dari KH.Sulaiman Tamam
Dibawah sinar lampu petromack yang
tak begitu cerah sinarnya, nampak di atas meja beberapa makanan tradisional seperti
pisang goreng, singkong goreng, dan jagung rebus, tertata rapi dengan diselingi
beberapa cangkir kopi yang menganga, setelah berbasa basi yang tak begitu banyak,
mbah Tamam segera membuka pertemuan protokoler dengan prosedur yang bersifat formalistik.
Pembicarakan mengalir begitu saja tanpa ada kesan formal, sesekali ada selingan
humor segar, canda tawa pun dapat meledak. Itulah gaya beliau dalam berkomunikasi
dengan kolega.
Pertama mbah Tamam menyampaikan
inti pokok bahasannya yaitu mendirikan madrasah formal untuk membekali peserta didik
dengan ilmu agama dan umum sehingga mampu untuk menghadapi kerasnya dunia dan akhirat.
"Kalau itu tujuannya, bisa dengan mendoring
anak anak SD untuk mengaji di pesantren" salah seorang dari mereka menanggapi
"Lebih hebat lagi kalau sekolah di madrasah sambil mengaji di pesantren"
ujar yang lain mengomentari.
KH.Sulaiman Tamam masih terdiam seribu bahasa dan
menyimak pendapat dan usul yang disampaikan oleh beberapa sahabatnya itu. Ada lagi
yang berkata : "Andai kata kita sepakat mendirikan madrasah, lalu bagaimana
sarana prasarana nya dan segala sesuatunya?"Mengapa kita harus membuat sekolah
sendiri dalam bentuk madrasah? karena kita punya sendiri sekolah tingkat dasar,
kita mendirikan sekolah lanjutan" sahut Kyai H.Sulaiman Tamam, "Mengenai
sarana prasarana nanti kita urus sambil jalan, dan mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan manajemen,saya akan mendekati orang-orang yang mampu di bidangnya",lanjut
beliau memantapkan.
" Bismillah, kita dirikan
madrasah, setuju?", ucap Kyai Sulaiman memecah keheningan malam nan sunyi.
Semua menjawab : "Setuju" jawab mereka penuh semangat. "Madrasah
itu kita beri nama Raudhatul Mutaallimin, yang berarti taman bagi para siswa atau
santri, besok pagi kita datang bersama sama ke samping masjid, melihat lokasi yang
akan kita bangun madrasah di sebelah selatan masjid" ujar beliau penuh semangat dan suka cita.
Mendengar ajakan mbah Tamam, mereka
saling berpandangan bertanya-tanya, karena lokasi yang akan dibangun adalah tanah
milik negara. beliau mafhum atas respon mereka lalu memberi penjelasan agar semuanya
tidak ragu :"Tenanglah! kelihatannya kok ada yang ragu tentang status tanah.
Masalah tanah nanti akan saya selesaikan melalui Bupati dan DPR". mendengar
penjelasan itu seluruh sahabat beliau merasa lega seraya mengangguk-anggukkan kepala.
Namun masih ada yang berbisik diantara mereka "apakah
bisa kita dirikan madrasah di desa Menganti?" mendengar penjelasan itu yang
lain menjawab "sudahlah serahkan semua ini kepada KH.Sulaiman Tamam" mendengar
jawaban itu, lalu mengangguk percaya. Hari hari dilalui oleh masyarakat menganti
tidak seperti biasanya, masyarakat desa berkumpul di serambi masjid desa Menganti.
Tokoh pemuka agama ini menjadi tokoh sentral diantara mereka, beliau seakan
menjadi keynote speaker dalam forum diskusi. Sementara itu puluhan orang membersihkan
pekarangan samping masjid yang dulunya adalah kuburan dan pasar untuk di bangun
gedung madrasah. Beliau dan didampingi beberapa tokoh nampak diberi petunjuk dimana
letak pondasi bangunan akan digali. Hari demi hari proses pembangunan terus berjalan
dengan lancar. Demi mewujudkan gedung madrasah, masyarakat ikut andil mengambil
peran masing masing, sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka masing-masing. Ada
yang memberikan harta benda. Ada juga yang mendonorkan tenaganya.
Belum genap satu bulan, hasil
mereka bergotong royong sudah mulai nampak. Bangunan kayu yang tak begitu kokoh
berdiri di selatan masjid. dulu tidak ada satupun rumah yang dari dinding tembok,
hanya bangunan masjid satu-satunya yang berdinding tembok untuk beberapa waktu,
bangunan sudah jadi tanpa atap karena menunggu usuk (kaso). Meskipun stok kayu.
mahoni dari bantuan dari pemerintah daerah hasil usaha beliau sebagai anggota DPRD
berupa penebangan kayu sepanjang jalan desa Kerso,Semat,Tegalsambi,Demaan lebih
dari kata cukup. Namun beliau menginginkan kayu terbaik dari Karimun Jawa agar awet.
Akhirnya bangunan kayu yang begitu kokoh pada masanya berdiri tegaktegak di tengah-tengah desa Menganti. semua ini juga tak lepas dari keistiqomahan beliau yang selalu sholat dhuha setiap pagi dan selalu memuthala'ah kitab-kitab yang belum dipelajarinya di pondok pesantren. kitab-kitab yang dipelajari beliau, beliau peroleh dari sahabat sahabatnya yang menunaikan ibadah haji sebagai buah tangan. Semoga beliau menjadi suri tauladan kita semua, dan semoga kita dapat meneladani perjuangan beliau.
Komentar
Tinggalkan Komentar