Jam Operasional : Senin s/d Sabtu 07:00 - 14:00

icon

Butuh bantuan? hubungi kami

(0291) 755822

KH. SULAIMAN TAMAM: SANG PELOPOR PENDIDIKAN FORMAL PERTAMA DI JEPARA

Blog Details

KH. SULAIMAN TAMAM: SANG PELOPOR PENDIDIKAN FORMAL PERTAMA DI JEPARA

Oleh: Dhea Noor Rokhimah

Pendidikan formal di Jepara di pelopori oleh sosok yang tegas dan pemberani yaitu KH.Sulaiman Tamam. Beliau adalah penduduk asli dari desa Menganti kecamatan Kedung kabupaten Jepara. beliau lahir di Menganti pada tahun 1916 M dari pasangan KH.Idris bin mbah Satam dan nyai Salamah binti mbah Ramijan. yang tak lain adalah putra pertama dari tiga bersaudara, beliau sering dipanggil santri-santrinya dengan sebutan 'mbah Tamam'.

Sosok ulama' Nahdlatul Ulama ini mempunyai profesi yang tergolong unik. Karena disamping sebagai seorang kyai yang mengajar santri-santrinya di musholla peninggalan ayahnya, yang tak lain adalah KH.Idris. Beliau juga seorang Sekertaris Desa, kemudian beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dengan jabatan terakhir Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kecamatan Kedung. Di bidang organisasi, beliau tercatat sebagai Ketua Majlis Wakil Cabang NU di Kecamatan Kedung. Syuriah NU di Kabupaten Jepara dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jepara.

Riwayat pendidikan Beliau,  tak lepas dari tarbiyah  pesantren, karena beliau masih mempunyai darah keturunan kyai. Pada usia ke sembilan tahun (seusia SD) KH.Sulaiman Tamam sudah mendapatkan pengajaran dari ayahnya sendiri, antara lain ilmu Nahwu,Taukid,dan Fiqih dengan mengkaji kitab kitab kuning.

Selepas Sekolah Rakyat (SD) mbah Tamam dikirim ayahnya di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. tetapi tidak diketahui secara pasti pesantren mana yang mula mula disinggahi beliau. namun ada beberapa pesantren yang disebut oleh beliau saat hidupnya, antara lain Pondok Pesantren Tremas Pacitan  Jawa Timur dengan pengasuh KH.Dhimyatie , Pondok Pesantren Jampes Kediri di bawah asuhan Syekh Ikhsan, Pondok Pesantren Rembang di bawah asuhan KH.Kholil, Pondok Pesantren Balekambang Kecamatan Nalumsari (Dahulu Kecamatan Mayong) Jepara dibawah asuhan KH.Hasbullah dan KH.Abdullah Hadziq dan Pondok Pesantren Panggung Nalumsari Jepara yang di asuh oleh KH.Asro

Belum genap lima belas tahun umurnya, mbah Tamam diamanati ayahnya untuk mencari ilmu di suatu Pondok Pesantren Jampes Kediri. Sehari sebelum berangkat ke Kediri beliau tidak bisa tidur semalaman. Kehidupan di ponpes berfatamorgana di langit-langit kamarnya. Segala sesuatu dan barang-barang yang diperlukan sudah dipersiapkan semuanya.

Sosok ulama NU itu berangkat ke stasiun kereta api Mayong pada pagi buta ditemani ayahnya yang tak lain adalah KH.Idris dengan mengendarai dokar milik pamannya, lengkap dengan kuda putih yang bernama Danu. Sampailah mereka di stasiun kereta api Mayong. Perjalanan Jepara–Kediri pun dilanjutkan hingga memakan waktu seharian penuh. beliau menikmati perjalanan itu dengan melihat pemandangan yang seolah berjalan dari jendela kaca kereta.

Roda besi sudah menginjak rel kereta di stasiun Surabaya. mbah Tamam dan ayahnya turun dan bergegas melakukan sholat dzuhur dan asar dengan dijama’ taqdim di mushola yang tak begitu besar di sebelah kanan halaman stasiun. Usai sholat, KH.Sulaiman Tamam dan KH.Idris melanjutkan perjalanan ke ma'had Jampes Kediri

Beliau dan ayahnya  melepas penat di sebuah mushola kecil sebelah kanan kamar-kamar santri di lingkungan pondok pesantren Jampes Kediri. Melihat santri yang berlalu lalang menenteng kitab kuning, mbah Tamam tersadar bahwa beliau sungguh berada di tempat yang diimpikannya. Ada juga santri yang menyiapkan akomodasi di dapur, duduk melingkar mendiskusikan musykilaf yang dikaji, mengaji sorogan, mathla’ah kitab dan yang lain sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri. mbah Tamam dan ayahnya hanya duduk santai hingga seorang santri menghampiri dan mengantar ke ndalem (rumah kyai yang dimuliakan)

Mbah Tamam dan ayahnya duduk iftirasy di depan pintu ndalem yang terbuka. Menurut pengasuh ponpes itu, Syekh Ihsan, beliau menuturkan bahwa pintu rumah yang terbuka melambangkan bahwa penghuninya siap menerima tamu siapapun dan kapanpun, karena silaturrahmi akan membawa berjuta kebaikan.

Syekh Ihsan pun keluar menemui KH. Idris dan putranya.  Beliau melihat mereka dengan tatapan tajam penuh penghormatan, lalu mengajak KH. Idris untuk duduk di kursi. Meskipun belum pernah bertemu, Syekh Ihsan mengetahui bahwa ayah dari KH.Sulaiman Tamam adalah seorang kyai. mbah Tamam masih duduk di lantai tak berani menatap wajah Syekh Ihsan. Sesekali mencuri pandang dan merasakan bahwa beliau adalah sosok idola yang didambakan meskipun beliau baru pertama kali melihatnya.

KH. Idris menyampaikan hajatnya pada Syekh Ihsan untuk memasrahkan putra pertamanya di pondok pesantren. Syekh Ihsan menerimanya dan mengucapkan “pintar menulis, tulisannya bagus, bagus sekali. KH.Idris dan putranya  diam seribu bahasa tidak mampu menafsirkan ungkapan Syekh Ihsan.

Sosok pemuka agama yang masih berumur 15 tahun itu telah bergabung dengan santri lainnya, sedangkan KH. Idris pulang ke Jepara. Hari pertama beliau di pesantren digunakan untuk memilih kitab-kitab yang akan beliau pelajari. beliau mengaji dengan tekun. Tak hanya ilmu dari kitab yang beliau kaji, beliau juga belajar dari kepribadian Syekh Ihsan pada kedalaman ilmu  tutur kata, sikap, dan perilakunya. Beliau juga merasa menemukan idola baru setelah gurunya terdahulu.

Hari demi hari mbah Tamam semangat belajar dan mengaji. Hingga suatu ketika, sebelum Syekh Ihsan mengajari santrinya kitab fathul wahab, Syekh Ikhsan mengundang santrinya yang baru beberapa hari  untuk mendekat di depannya. Seketika mbah Tamam kaget bercampur rasa haru dan bangga. Beliau memenuhi perintah gurunya yang tak lain adalah syekh Ihsan dengan jalan mendengkul lalu duduk lebih rendah dari syekh Ihsan dengan penuh tawadhu’.

Syekh ihsan menunjuk mbah Tamam sebagai katib penulisan kitab Sirajut Thalibin yang akan beliau tulis, yang merupakan syarah dari kitab Minhajul Abidin Ila Jannati Robbil Alamin karangan Imam Al Ghazali. Mungkin inilah maksud dari perkataan yang pernah diucapkan KH.Idris saat memasrahkan mbah Tamam dulu. Mengetahui utusan tersebut, air mata mbah Tamam berlinang membasahi pipinya. Sempat ada perasaan ragu dan merasa tidak pantas namun, dengan tekad dan niat, beliau berusaha akan melaksanakan utusan kyainya dengan sebaik-baiknya.        

Sesosok ulama Nahdlatul Ulama itu mencurahkan seluruh waktunya untuk memenuhi tugas dari syekh Ihsan. Ketika santri yang lain sibuk untuk mendalami ilmunya dengan mengaji kitab, mbah Tamam justru dipanggil oleh Syekh Ihsan untuk melanjutkan penulisan kitab Sirajut Thalibin. Dalam menjalankan tanggung jawabnya itu, kegundahan mulai muncul, antara khidmat kepada Syekh dan mengaji sebagaimana santri pada umunya untuk menggapai cita-cita. Sudah lima bulan mbah Tamam menjalankan tugasnya sebagai katib itu. Oleh karena kegundahannya, beliau berniat pindah pesantren. Dengan penuh ta’dzim, beliau memberanikan diri untuk matur kepada Syekh Ihsan. Namun keinginan beliau ditolak, kemudian Syekh Ihsan menuturkan  “Kamu tidak perlu pindah kemana-mana. Apa yang kamu cari di pesantren ini?. Kalau kamu ingin mendapatkan ilmu, kelak akan mendapatkannya. Kalau kamu ingin menjadi kyai, kelak akan menjadi kyai. Sudahlah, selesaikan tugasmu sebagai katib Sirajut Tholibin”

Selama delapan bulan, sosok pemuka agama itu telah menyelesaikan penulisan kitab. yang bejumlah hampir seribu seratus halaman itu. Kemudian beliau diperbolehkan boyong dan mewujudkan niatnya untuk mencari ilmu di Pondok Pesantren Tremas.

Asam garam mbah Tamam tidak terlepas dari pahit getirnya kehidupan. beliau berfikir keras untuk mencerdaskan masyarat Menganti yang diselimuti kebodohan dan kemiskinan. sebab taraf ekonomi yang rendah dan sedikitnya ilmu yang dimiliki.

Suatu hari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat baru saja keluar dari ruang sidang setelah pimpinan sidang mengetuk palu sebagai tanda lobbying breaks. Kyai Tamam pikirannya dilanda kegundahan karena memikirkan permasalahan umatnya di desa Menganti. Tatapan matanya kosong tanpa arti. Jauh menatap pandangan diluar.

Jalan pendopo kabupaten lengang. Hanya satu atau dua truk yang melintas untuk mengangkut barang. Nampak beberapa wanita dengan beralaskan sandal yang tak begitu tebal menuju pasar. Tiba tiba terlintas seorang laki-laki yang tak berbusana. hanya mengenakan celana buluk nan lusuh tanpa mengenakan alas kaki.

Laki-laki yang diguyur keringat di seluruh tubuh dan disorot oleh paparan sinar ultraviolet yang begitu terik. Pemuka agama ini menatap dengan seksama lelaki separuh baya yang sedang menggelandang sepotong pohon Aren itu. "Siapa gerangan lelaki itu, seperti aku mengenalnya", pikirnya penasaran. Ternyata benar, laki-laki itu adalah penduduk desa Menganti yang sedang mencari sesuap nasi untuk diri dan keluarganya.

Bagi masyarakat desa Menganti,pohon Aren memang mempunyai arti yang sangat berpengaruh dalam ekonomi mereka. Sebagian besar masyarakat desa Menganti menggantungkan mata pencaharian dengan mengolah pohon Aren menjadi tepung sagu. Pohon Aren dikupas kulit nya, diambil bagian intinya kemudian ditumbuk sampai lumat menggunakan alu. Setelah itu, tumbukan batang Aren diombang ambing kan dalam suatu bejana menggunakan air.

Bahan baku pohon Aren dahulu dapat di temukan dari daerah lereng Gunung Muria yang tersebar di berbagai kecamatan di Jepara. Antara lain Mlonggo, Bangsri, dan Keling. Untuk membawa sepotong pohon Aren itu dilakukan dengan cara menarik dengan tenaga manusia dan berjalan kaki. Pada kedua sisi batang aren tersebut kemudian ditarik dengan tumpuan pundak. Pundak kanan dan kiri secara bergantian merasakan beban yang setara. KH.Sulaiman Tamam berempati kepada umatnya yang harus menanggung untuk menghadapi permasalahan ekonominya.

Kyai yang berprofesi sebagai anggota DPRD mempunyai taraf kehidupan ekonomi yang lebih baik daripada masyarakat pada umumnya. Berpakaian yang bagus, Ketika sidang, Pulang pergi diantar jemput oleh mobil dinas pemerintah daerah. Kondisi yang demikian tidak lantas membuat lupa diri dengan fasilitas yang diterimanya.

Justru mbah Tamam bertekad bulat untuk mencerdaskan umat nya yang mayoritas beragama Islam, dan desa Menganti yang masih diselimuti oleh kebodohan dan kemiskinan.

Beliau  berfikir keras untuk merubah masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan menjadi masyarakat yang layak ekonomi maupun pendidikan, perlu didirikan lembaga islam yang sesuai dan terjangkau oleh masyarakat yang belum maju.

Keinginan untuk mendirikan madrasah membabi buta di pikiran nya. Tetapi KH.Sulaiman Tamam sadar bahwa untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan islam yang formal tidak semudah menutup kelopak mata. Sebagai manusia yang biasa muncul perasaan pesimisme, betapa sulitnya mendirikan lembaga islam di tengah masyarakat yang mengalami problematika ekonomi dan sosial.

Keinginan untuk mendirikan madrasah semakin memberontak di dalam inti hati KH.Sulaiman Tamam. Pesimisme akan terwujudnya lembaga pendidikan islam formal di desa Menganti yang dapat merubah pola pikir, wawasan, dan orientasi masyarat, setelah menyaksikan lelaki paruh baya yang menggelandang batang aren berkilo-kilo meter yang dibasahi keringat dan ditengah terik sinar ultraviolet yang sangat menyengat. Pesimisme berganti menjadi optimistis me penuh harap. "Sekarang saatnya memulai, tidak bisa ditunda lagi." gumam hati beliau.

Matahari mulai menyembunyikan diri, pertanda hari mulai sore, para anggota dewan meninggalkan ruang sidang yang satu komplek dengan pendopo kabupaten, setelah mendengar ketukan palu pimpinan sidang, pertanda sidang ditutup. Tidak seperti sekarang. Dulu, karena sulitnya transportasi, pemerintah menyedian mobil antar jemput anggota dewan. satu persatu anggota dewan masuk kedalam mobil yang searah dengan tujuannya. Mbah Tamam  terus melaju menyusuri sepanjang jalan desa Demaan,Tegalsambi,Platar,Semat,Kerso, dan Menganti jalan Krapyak,Mantingan,dan Petekeyan belum dibangun.

Kyai Tamam menumpangi mobil Ford buatan Jerman tahun 1930-an berjalan dengan santai menyusuri jalan berbatu, sambil ber fatamorgana bagaimana cara mendirikan lembaga pendidikan islam di tengah-tengah desa Menganti yang seratus persen beragama Islam dengan corak Nahdlatul Ulama'

Mobil milik penjajah Belanda itu yang sudah dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia itu terus melaju dengan kecepatan rendah, karena kondisi jalan yang jauh dari kata 'layak', banyak bebatuan berserakan. Tiba-tiba sang sopir berteriak marah :"Ayo cepat! itu orang apa keong! berjalan lambat sekali!". laju mobil masih tetap lambat seakan tidak bergerak sedikitpun. Mendengar teriakan surara sang sopir, lelaki itu berusaha minepi, tetapi kesulitan karena beban yang terlalu berat yang di bawanya. Sang sopir semakin sabar dan kembali berteriak sekuat tenaga "Minggir dulu mobil mau lewat!". tetap saja mobil tidak bisa lewat kerena terhalang oleh beban yang dibawa lelaki itu yang melihtang di tengah jalan.

Untung saja ada dua lelaki yang pulang dari sawah, yang mau membantu menggelandang beban yang dibawa lelaki itu ketepian jalan. hingga mobil dengan penumpang para anggota DPRD itu bisa lewat. Mbah Tamam seorang pemuka agama diam seribu bahasa seakan tidak ada kata se hela nafas pun yang ingin dilontarkan. Sebab KH.Sulaiman Tamam tau bahwa penghambat laju mobil yang beliau tumpangi adalah salah satu penduduk desa Menganti yang menggelandang betang pohon Aren untuk mengais rezeki demi seusap nasi untuk diri dan keluarganya. Gejolak tekad beliau begitu kuat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan islam di tengah umat nya yang dilanda oleh kemiskinan dan kebodohan.

Matahari mulai gingsir, sinarnya yang tak begitu cerah dari sinarnya lampu. Mbah Tamam dari kamar depan bergegas menuju ke ruang tamu. diruang tamu persis pintu depan, beliau duduk di kursi rotan tinggalan KH.Idris yang tak lain adalah ayahnya. pandangannya ber fatamorgana keluar rumah lewat daun pintu yang terbuka lebar, otaknya berfikir keras untuk memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan lembaga islam di desanya. Keinginan nya yang kuat membawa bayangan seakan sudah berdiri lembaga pendidikan islam di Menganti dengan murid-murid yang belajar ilmu duniawi untuk kehidupan dunia, dan ilmu agama untuk akhirat. Mata beliau membayangkan bahwa ada murid-murid yang sekaligus sebagai santri sedang berjalan menenteng kitab dan buku pelajaran umum.

Di tengah asyik-asyiknya menghalukan perubahan keadaan sosial ekonomi di desa Menganti, Tiba-tiba terdengar suara bedug yang bertalu-talu sebagai pertanda waktu maghrib telah tiba. Para santri sudah menunggu di musholla untuk mengikuti jamaah magrib. sedangkan KH.Sulaiman Tamam masih di padasan untuk berwudlu. Cukup lama para santri beliau menunggu, tidak ada yang berani menggantikan beliau menjadi imam. Jumlah santri belum begitu banyak, hanya pemuda yang rumahnya di komplek ndalem nya KH.Sulaiman Tamam yang jumlahnya kurang dari tiga puluh orang.

Seperti biasanya, sesudah jamaah maghrib di laksanakan, para santri mengaji al-quran. sebagian santri senior menyemak juniornya. Sebagian yang lain memuthala'ah sendiri sendiri untuk melancarkan bacaannya. Kentongan masjid berbunyi, itu tandanya sholat isya' telah tiba, jamaah sholat isya' segera dilakukan, kemudian dilanjutkan pengajian kitab seperti biasanya. Kali ini agak berbeda, pengkajian berlangsung singkat. Setelah pengkajian ditutup,  KH.Sulaiman Tamam membagi tugas kepada santri senior. Masing masing dari mereka di tugasi oleh beliau untuk mendatangi rumah warga sekitar ndalem nya Kyai Sulaiman untuk berkenan di ndalem nya beliau pada malam itu juga.

Santri di bagi menjadi beberapa kelompok, karena santri tidak mempunyai keberanian untuk menyusuri sepanjang jalan desa Menganti karena jauh dari kata 'terang'. Setiap kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Di rumah -rumah penduduk hanya menyala lampu teplok. Sedikit sekali rumah warga yang menggunakan lampu petromack, itupun di matikan setelah isya' berkumandang agar hemat akan bahan bakar. Jalan jalan yang gelap nan sepi. Masih banyak pohon-pohon yang besar tumbuh di pekarangan. didi Samping kanan kiri banyak lahan kosong yang dubtumbuhi rumpun-rumpun bambu yang lebat.

Dengan berbekal penerangan yang terbuat dari daun kelapa yang kering dan daun pisang yang kering pula, beberapa kelompok santri yang diutus oleh KH.Sulaiman Tamam menuju ke rumah rumah tokoh desa Menganti. Pemuka agama itu  sudah duduk menunggu di ruang tamu, tokoh paling muda yang ada di desanya menjadi kaki tangan mbah Tamam yang tak lain adalah H.Hambali datang paling awal karena rumahnya paling dekat dengan ndalem KH.Sulaiman Tamam. Disusul oleh KH.Irsyad seorang aduk ipar KH.Sulaiman Tamam. dan disusul secara beruntut oleh KH.Sodiq, perangkat desa, H.Saleh, H.Asad, seorang aghniya yaitu H.Jalil dan H.Marzuki seorang duda dari Hj.Pasinah seorang wanita berkarir yang kaya raya merupakan bibi dari KH.Sulaiman Tamam

Dibawah sinar lampu petromack yang tak begitu cerah sinarnya, nampak di atas meja beberapa makanan tradisional seperti pisang goreng, singkong goreng, dan jagung rebus, tertata rapi dengan diselingi beberapa cangkir kopi yang menganga, setelah berbasa basi yang tak begitu banyak, mbah Tamam segera membuka pertemuan protokoler dengan prosedur yang bersifat formalistik. Pembicarakan mengalir begitu saja tanpa ada kesan formal, sesekali ada selingan humor segar, canda tawa pun dapat meledak. Itulah gaya beliau dalam berkomunikasi dengan kolega.

Pertama mbah Tamam menyampaikan inti pokok bahasannya yaitu mendirikan madrasah formal untuk membekali peserta didik dengan ilmu agama dan umum sehingga mampu untuk menghadapi kerasnya dunia dan akhirat.  "Kalau itu tujuannya, bisa dengan mendoring anak anak SD untuk mengaji di pesantren" salah seorang dari mereka menanggapi "Lebih hebat lagi kalau sekolah di madrasah sambil mengaji di pesantren" ujar yang lain mengomentari.

KH.Sulaiman Tamam masih terdiam seribu bahasa dan menyimak pendapat dan usul yang disampaikan oleh beberapa sahabatnya itu. Ada lagi yang berkata : "Andai kata kita sepakat mendirikan madrasah, lalu bagaimana sarana prasarana nya dan segala sesuatunya?"Mengapa kita harus membuat sekolah sendiri dalam bentuk madrasah? karena kita punya sendiri sekolah tingkat dasar, kita mendirikan sekolah lanjutan" sahut Kyai H.Sulaiman Tamam, "Mengenai sarana prasarana nanti kita urus sambil jalan, dan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan manajemen,saya akan mendekati orang-orang yang mampu di bidangnya",lanjut beliau memantapkan.

" Bismillah, kita dirikan madrasah, setuju?", ucap Kyai Sulaiman memecah keheningan malam nan sunyi. Semua menjawab : "Setuju" jawab mereka penuh semangat. "Madrasah itu kita beri nama Raudhatul Mutaallimin, yang berarti taman bagi para siswa atau santri, besok pagi kita datang bersama sama ke samping masjid, melihat lokasi yang akan kita bangun madrasah di sebelah selatan masjid" ujar beliau  penuh semangat dan suka cita.

Mendengar ajakan mbah Tamam, mereka saling berpandangan bertanya-tanya, karena lokasi yang akan dibangun adalah tanah milik negara. beliau mafhum atas respon mereka lalu memberi penjelasan agar semuanya tidak ragu :"Tenanglah! kelihatannya kok ada yang ragu tentang status tanah. Masalah tanah nanti akan saya selesaikan melalui Bupati dan DPR". mendengar penjelasan itu seluruh sahabat beliau merasa lega seraya mengangguk-anggukkan kepala.

Namun masih ada yang berbisik diantara mereka "apakah bisa kita dirikan madrasah di desa Menganti?" mendengar penjelasan itu yang lain menjawab "sudahlah serahkan semua ini kepada KH.Sulaiman Tamam" mendengar jawaban itu, lalu mengangguk percaya. Hari hari dilalui oleh masyarakat menganti tidak seperti biasanya, masyarakat desa berkumpul di serambi masjid desa Menganti.

Tokoh pemuka agama ini  menjadi tokoh sentral diantara mereka, beliau seakan menjadi keynote speaker dalam forum diskusi. Sementara itu puluhan orang membersihkan pekarangan samping masjid yang dulunya adalah kuburan dan pasar untuk di bangun gedung madrasah. Beliau dan didampingi beberapa tokoh nampak diberi petunjuk dimana letak pondasi bangunan akan digali. Hari demi hari proses pembangunan terus berjalan dengan lancar. Demi mewujudkan gedung madrasah, masyarakat ikut andil mengambil peran masing masing, sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka masing-masing. Ada yang memberikan harta benda. Ada juga yang mendonorkan tenaganya.

Belum genap satu bulan, hasil mereka bergotong royong sudah mulai nampak. Bangunan kayu yang tak begitu kokoh berdiri di selatan masjid. dulu tidak ada satupun rumah yang dari dinding tembok, hanya bangunan masjid satu-satunya yang berdinding tembok untuk beberapa waktu, bangunan sudah jadi tanpa atap karena menunggu usuk (kaso). Meskipun stok kayu. mahoni dari bantuan dari pemerintah daerah hasil usaha beliau sebagai anggota DPRD berupa penebangan kayu sepanjang jalan desa Kerso,Semat,Tegalsambi,Demaan lebih dari kata cukup. Namun beliau menginginkan kayu terbaik dari Karimun Jawa agar awet.

Akhirnya bangunan kayu yang begitu kokoh pada masanya berdiri tegaktegak di tengah-tengah desa Menganti. semua ini juga tak lepas dari keistiqomahan beliau yang selalu sholat dhuha setiap pagi dan selalu memuthala'ah kitab-kitab yang belum dipelajarinya di pondok pesantren. kitab-kitab yang dipelajari beliau, beliau peroleh dari sahabat sahabatnya yang menunaikan ibadah haji sebagai buah tangan. Semoga beliau menjadi suri tauladan kita semua, dan semoga kita dapat meneladani perjuangan beliau.

Komentar

Tinggalkan Komentar